Saturday, December 12, 2009

Lebaran @ Gunung Lawu




Saya sering mendengar cerita tentang gunung ini. Mulai dari keindahan panorama alamnya, kehadiran burung jalak ketika melakukan pendakian, hingga berbagai peninggalan zaman kerajaan Majapahit yang bertebaran disekitar gunung.

Argo Dumilah, untuk saat ini merupakan tempat tertinggi yang pernah saya pijak. Berada di ketinggian 3265 Mdpl tempat ini tentu memiliki suhu dibawah rata-rata. Sejak awal saya sudah membayangkan betapa dingin udara di tempat kami akan bermalam sebelum melanjutkan perjalanan ke puncak. Dan benar saja, udara dingin serasa menusuk-nusuk kulit. Beruntung ada semacam goa yang bisa digunakan sebagai tempat mendirikan tenda. Dingin sedikit teredam oleh bebatuan yang mengitari tenda kami.

Cerita tentang keindahan alam lawu ternyata bukan hanya isapan jempol. Jumputan Bunga Abadi (Edelweis) sepanjang perjalanan, kerlap-kerlip lampu dan bias cahaya air Telaga Sarangan tampak indah dari sini. Lereng-lereng yang terlihat menghujam awan juga bukit-bukit yang diselimuti awan membawa sensasi tersendiri (merasanya sedang berada di sebuah tempat di atas awan). Menyaksikan perubahan warna cakrawala dari ketinggian ketika sunset dan sunrise pasti dan akan selalu menjadi momen indah. Keberadaan beberapa bangunan di sekitar puncak juga menambah keterkesanan saya, betapa gigih usaha yang mereka lakukan untuk mengenang dan memberi penghormatan pada para leluhur Nusantara.

Ada satu lagi cerita menarik yang terjadi ketika kami hendak melakukan perjalanan pulang dari Cemoro Sewu.

Waktu itu, kami baru turun dari puncak dan hendak melakukan perjalanan pulang. Apa daya, ternyata ban motor saya pecah. Hari itu merupakan lebaran hari pertama. Pasti sangat sulit untuk mencari tukang tambal pikir saya.

Sungguh beruntung ternyata tidak jauh dari basecamp ada tukang tambal ban yang buka. Ternyata ban motor saya sobek di dua tempat. Awalnya saya berpikir pasti harga menambal ditempat itu akan sangat mahal. Tempat terpencil, cukup jauh dari peradaban ditambah lagi suasana hari raya. Sangat wajar jika tukang tambal itu mematok harga tinggi.

Tapi apa yang terjadi, ketika saya menanyakan ongkos tambal untuk dua sobekan tadi, Mas itu menjawab 7000 rupiah, kemudian saya menanyakan kembali:

"sudah semuanya Mas..??"
Dia menjawab "Iya".

Aih, berarti ongkos menambal untuk satu sobekan hanya 3500.

Saya tersentak dibuatnya. Ternyata masih ada orang polos seperti itu di negara ini. Entah prinsip apa yang dipegangnya, sehingga paham oportunisme tidak diberlakukan pada kesempatan ini. Andai saja sikap para pemimpin negeri ini bisa seperti itu. Tentu kasus-kasus korupsi yang mengatasnamakan kesempatan dan kekuasaan tidak akan menjadi topik utama media cetak dan televisi di negara tercinta ini.

Salam hormat untukmu, tukang tambal ban. Berkat kamu, saya tidak perlu mendorong motor terlalu jauh. Berikut sedikit foto perjalanan kami.

nb: Seperti biasa, foto oleh Dwi, beberapa diantaranya oleh Karung

Monday, November 9, 2009

Keluarga Bali KulKul @ Ungaran




Gunung Ungaran selalu berkesan dihati. Ditambah lagi perjalanan penuh canda bersama sahabat. Menimbulkan sensasi rumah yang sangat kental. Sungguh beruntung diujung waktu berada di Jogja saya berkesempatan untuk menjadi bagian dari keluarga besar ini. Berkumpul bersama sosok-sosok bijak penuh semangat yang selalu bersahabat. Ini adalah cerita perjalanan pertama saya bersama keluarga ini. Sebuah piknik idaman. Saya tidak akan bercerita lebih lanjut, sekiranya beberapa gambar ini mampu bercerita lebih banyak tentang betapa hari yang kami lewati disana sungguh menyenangkan.

Nb: Foto by Dwi & Karung

Tuesday, October 6, 2009

17 Agustus di Merapi




Ini adalah pendakian kedua saya di Gunung Merapi. Kali ini bertepatan dengan peringatan proklamasi kemerdekaan Indonesia yang ke 64 tahun. Saya bersama dua orang teman, dua wanita tangguh yang sunguh gemar menapakkan kaki di batas-batas tertinggi daratan. Saya sungguh mengagumi mereka, semoga saja saya cukup beruntung untuk diberi kesempatan melakukan perjalanan menapakkan kaki di batas tertinggi daratan sesering yang telah mereka lakukan.

Saya berangkat dari Jogja. Jika pada pendakian sebelumnya mengendarai sepeda motor, kali ini menumpang bus. Pengalaman baru yang selalu membuat tersenyum. Kami menumpang bus dari Janti. Untuk mencapai Basecamp New Selo, kami melakukan pergantian angkutan sebanyak 3 kali. Pertama mengganti bus di terminal Kartosuro, kemudian kembali berganti bus di pertigaan di wilayah Boyolali. Kemudian pindah memakai mini bus di sebuah pasar di daerah Boyolali. Mini bus ini mengantarkan sampai di pertigaan yang merupakan persimpangan terdekat antara jalan raya dengan basecamp New Selo. Sekiranya kami akan berjalan kaki menuju basecamp, beruntung ada rombongan dari Jakarta yang menawarkan untuk ikut menumpang carry yang mereka tumpangi. Perjalanan menanjak berjalan kaki yang seharusnya ditempuh selama 15 menit berhasil dicapai dalam waktu tidak sampai 5 menit.

Sebelumnya saya sudah mendengar cerita kalau 17 Agustus merupakan salah satu momen pendakian yang digemari banyak orang. Dan benar saja, sesampai di basecamp puluhan orang terlihat telah bersiap melakukan pendakian. Kami melakukan pendakian siang hari, kalau tidak salah pukul 2 siang. Saya sangat menikmati pendakian, santai dan berjumpa banyak orang penuh semangat yang selalu menyapa dengan senyum mengembang.

Kami sampai di Pasar Bubrah kalau tidak salah pukul 7.30 malam. Suhu disana sungguh berbeda dengan bukit terakhir yang kami lewati, cukup hangat. Lampu-lampu tampak berserakan menghiasi ratusan tenda yang terpasang di areal itu. Saya terkaget menyaksikan suasana disana, sungguh semarak. Tidak pernah terbayang sebelumnya bakal ada dentuman musik Metallica di tempat itu, sangat kencang. Mereka pasti gerombolan metalhead sejati yang tak rela melewatkan waktu tanpa teriakan James Hetfield pun sayatan gitar Kirk Hammet yang sungguh memecah kesunyian dimalam itu. Malam itu saya berkenalan dengan 3 teman baru yang berasal dari daerah Kendal yang salah satunya merupakan temannya teman perjalanan saya.

Pagi hari saya berniat menggapai puncak, dua teman saya tidak ikut, mereka lebih memilih menyusuri Pasar Bubrah. Saya berangkat bersama 3 teman baru yang saya kenal semalam. Kami melewati jalur yang sangat curam. Saya tidak lewat jalur itu sewaktu pertama kali muncak. Jalur ini sangat terjal, ada beberapa bagian yang mengharuskan kami untuk memanjat seperti ketika sedang memanjat papan panjat. Belum sampai puncak, sunrise tampaknya segera muncul, kami berhenti sejenak untuk mengabadikan gambar kemudian melanjutkan pendakian.

Sesuai perkiraan, kawasan puncak penuh sesak, bahkan untuk menyentuh Puncak Garuda mesti antri dan antriannya cukup panjang. Niat saya untuk berfoto disana seketika hilang, toh saya sudah mengabadikan gambar di Puncak Garuda pada pendakian sebelumnya pikir saya. Tidak kalah dengan peringatan proklamasi di kota, disini juga banyak berkibar bendera merah putih, atribut wajib peringatan hari proklamasi. Sesaat ketika kami akan turun, saya terkaget karena bertemu teman kos saya yang sebelumnya berencana untuk 17an di Ungaran. Karung, Si tenaga kuda yang tak kenal lelah. Dia berangkat sendiri, dari Jogja jam 11, sampai di New Selo jam 1.30, langsung naik dan tiba di pasar bubrah pukul 4.30, Menggila!

Sesaat bercengkrama, kami berempat kemudian turun, kali ini tidak melewati jalan terjal yang tadi. Kami melewati lereng yang lebih landai namun cukup rawan karena track berupa bebatuan yang sangat mudah tergelincir jika kita salah berpijak. Cukup sering batu-batu sebesar genggaman tangan menggelinding dari atas yang memancing riuh pendaki berteriak awas, untuk memperingatkan mereka yang berada dibawah.

Kami tiba di Pasar Bubrah dengan selamat. Sangat lapar, kemudian memasak mie instan sambil menghabiskan bekal makanan yang tersisa. Kenyang, kemudian membongkar tenda dan siap untuk perjalanan turun. Teman kos saya, Karung, berangkat duluan, sepertinya sudah tidak sabar untuk bertemu sang kekasih hati. Rombongan turun gunung kami menjadi 6 orang. Saya masih ingat betapa berdebu dan licinnya track turun pada pendakian sebelumnya. Kali ini jauh lebih parah. Banyak orang gila yang menyeret botol-botol yang mereka kumpulkan untuk dibawa turun. Bayangkan, track berdebu, ditambah seretan rangkaian botol yang bisa mencapai 1 meter, hasilnya, tentu saja debu-debu beterbangan tak terkendali. Sangat mengganggu. Beruntung saya bertemu kembali dengan para metalhead sejati dengan pakaian hitam-hitam yang masih tetap setia dengan musik metal yang berdentum keras dari tape deck yang mereka panggul. Sungguh menghibur dan mengobarkan kembali semangat yang sempat redup.

Kira-kira 4 jam perjalanan kami tiba di basecamp New Selo. Sesaat beristirahat dan membersihkan badan kami melanjutkan perjalanan pulang ke Jogja. Dari daerah Selo menumpang bus, kemudian berganti bus di terminal di wilayah Boyolali lalu turun di wilayah Kartosuro. Kami mampir untuk makan di sebuah warung soto di dekat lampu merah Pasar Kartosuro. Maknyus dan murah meriah. Pantas saja teman saya memaksa untuk tetap makan disana walaupun diterik siang kami mesti berjalan sekitar 500m untuk mencari tempat itu. Sangat layak untuk dicoba. Kenyang menyantap soto, kami melanjutkan perjalanan ke Jogja dengan menumpang bus.

Kira-kira 1,5 jam perjalanan, kami tiba di Janti. Masih sekitar pukul 6 sore, saya dan dua teman berpisah disini. Mereka mengendarai motor yang mereka titipkan pada saat berangkat dan saya menumpang bus kopata. Kembali, ini adalah pengalaman baru, setelah 6 tahun menetap di Jogja baru kali ini saya menumpang bus kopata untuk transportasi dalam kota. Sedikit menggelitik, berada didalam bus yang sering kita umpat karena melaju ugal-ugalan sambil menyaksikan beberapa pengendara sepeda motor yang menggerutu dan menatap marah ke arah bus yang kita tumpangi.

Saya sampai dirumah dengan selamat. Sangat lelah namun sungguh berkesan.

nb: Foto-foto diambil dari kamera Karung & Mba Umay

Tuesday, June 23, 2009

Kebetulan bernama Sinkronisitas

Saya baru saja menemukan kosakata baru setelah membaca tulisan The "KK" Synchronicity milik Dewi Lestari. Tulisan mengenai berbagai kebetulan bernama Synchronicity/Sinkronisitas yang dipercaya sebagai cara semesta menyampaikan pesan untuk umatnya. Sebagian orang juga menyatakan bahwa Sinkronisitas merupakan pertanda kalau kita sedang berada dijalan yang benar. Sepertinya saya mengalami kebetulan seperti itu beberapa waktu yang lalu, begini ceritanya:

Suatu ketika saya memberi komentar pada posting
salah satu contact Facebook saya. Iseng saya memperhatikan kembali komentar itu dan ternyata tercatat pada tanggal 5 Juni pukul 5:55.

Beberapa hari kemudian, dalam perjalanan pulang dari daerah Jakal, didepan sebuah SPBU tiba-tiba saya menoleh kekiri dan menemukan tulisan SPBU. 44. 555.05 terpampang besar ditembok. Dua rangkaian 555 tanpa makna yang membuat saya teringat akan sinkronisitas.

Kemudian ketika saya membaca tulisan ini. Kembali rangkaian 555 muncul, kali ini lengkap dengan artinya menurut "angel number". Begini katanya:
Major changes and significant transformations are here for you. You have an opportunity to break out the chrysalis and uncover the amazing life you truly deserve
Cukup menarik..

Karena masih sangat asing dengan idiom "angel number", saya lalu melakukan pencarian dengan Google dan menemukan kutipan lain:
Buckle your seatbelts. A major life change is upon you. This change should not be viewed as being “positive” or “negative” since all change is but a natural part of life’s flow. Perhaps this change is an answer to your prayers, so continuing seeing and feeling yourself to be at peace.
Angel number,
555=akan terjadi perubahan besar dalam kehidupan anda.. Sangat menarik.. :)

Saya jadi mereka-reka "apa semesta sedang mencoba menyampaikan sesuatu melalui kebetulan-kebetulan ini..??" atau semua cuma kebetulan tanpa makna belaka..??

Ah, entahlah.. Paling tidak dari kebetulan-kebetulan ini saya jadi tau ternyata ada istilah sinkronisitas dan angel number di semesta raya ini.. :D

Salam untuk Sang Hakim

Setiap saat menghakimi padahal bukan hakim
Mempertontonkan aksi namun tidak untuk menghibur
Mengintervensi sampai mati

Senyum mengembang tanda menerima
Terus berjalan dan memberi salam

Hormat padamu, Sang Hakim.

Tuesday, June 2, 2009

Gunung Ungaran




Sejenak melambatkan nafas sambil mengamati pikiran untuk kemudian menceburkan diri lepaskan angan. Hanya ada senyum, bahagia, suka dan suka..

Ini merupakan perjalanan menyusuri entitas alam yang sungguh menawan. Berbagai keindahan terekam jelas dibenak. Julangan hutan pinus, luapan mata air yang siap diminum, sungai kecil yang membelah hutan, kolam mandi ditengah hutan yang cukup terawat, hamparan hijau perkebunan kopi & teh, barak para pemetik teh (Peromasan) dengan penghuni yang sangat ramah, sewa menginap semalam hanya 1000 rupiah, harga sekali makan hanya 3000 rupiah, pancuran tempat mandi sekaligus berendam yang sungguh menyegarkan, puncak gunung dengan pemandangan Gunung Merapi, Merbabu, Sindoro & Sumbing.
Belum pernah saya menyusuri tempat seindah ini. Impresi yang terbangun terlalu dalam, pasti tidak akan mudah untuk melupakan pengalaman ini...

Hasrat untuk kembali kesana sungguh besar, semoga dalam waktu dekat saya sudah bisa menikmati pengalaman ini lagi. Sungguh menyenangkan...

Monday, May 18, 2009

Mendefinisikan Percaya

Tatkala itu, saya sedang berkemah di suatu kawasan perkemahan, sebuah tempat representatif untuk melepas lelah. Ada udara dingin, pepohonan yang sangat rindang, kicau burung dan gemericik aliran sungai yang membelah kesunyian malam. Waktu itu, kebimbangan sedang berkecamuk di dada. Namun percakapan singkat dengan seorang sahabat sungguh mujarab guna mengembangkan kembali senyum dipagi nan indah itu.

"Keyakinan". Sebuah kata yang menjadi santapan wajib para pelajar didaerah saya ketika mendapat pelajaran Agama Hindu. Pelajaran tersebut terangkum dalam Panca Sradha, lima macam keyakinan yang menjadi landasan bagi mereka yang beragama Hindu. Keyakinan terhadap Tuhan, Keyakinan terhadap Atman, Keyakinan terhadap Hukum Karmaphala, Keyakinan terhadap Reinkarnasi dan Keyakinan terhadap Moksa. Konsep yang sampai kini masih tetap saya yakini kendatipun hanya salah satu saja yang benar-benar saya ketahui. (yakin belum tentu tahu, saat kita mengatakan "yakin akan adanya Tuhan", bukan berarti kita sudah tahu (melihat) keberadaannya. Namun saat kita mengatakan "tahu matahari terbit di timur", dikarenakan kita sudah melihat pemunculannya dari ufuk timur).

Pagi itu, diatas gelondong kayu yang melintang di badan sungai, saya sedikit bercerita tentang kebimbangan yang berkecamuk di dada. "Percaya" menjadi salah satu topik percakapan dipagi itu, sebuah kata yang memiliki kedekatan arti dengan "Yakin". Berikut beberapa definisi kata "percaya" yang ada pada KBBI Daring (Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam jaringan) :
    1. sebuah anggapan bahwa sesuatu itu memang benar-benar ada
    2. menganggap atau yakin bahwa sesuatu itu benar-benar ada
    3. menganggap atau yakin bahwa seseorang itu jujur (tidak jahat dsb)
    4. yakin benar atau memastikan akan kemampuan atau kelebihan seseorang atau sesuatu (bahwa akan dapat memenuhi harapannya dsb).

Kata "percaya" yang kami cakapkan waktu itu berada dalam konteks "mempercayai seseorang". Sekiranya definisi
nomer 4 dan 5 paling tepat untuk mewakili kata tersebut.
Menganggap atau yakin bahwa seseorang itu jujur; yakin benar atau memastikan akan kemampuan atau kelebihan seseorang atau sesuatu (bahwa akan dapat memenuhi harapannya dsb)
Keadaan sangat ideal yang mungkin sebatas definisi semata. Semoga saja suatu saat nanti, saya cukup beruntung untuk bisa mengetahui kalau memang benar ada sosok orang seperti itu.

Friday, January 16, 2009

Efek Rumah Kaca @ Liquid Jogja

Start:     Jan 22, '09 10:00p
Location:     Liquid Jogja